ZAMAN JEPANG Kejamnya Penjajah seumur jagung


Tanggal 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di pulau Jawa, Belanda tidak dapat lagi melawannya. Oleh karena itu pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jendral Imamura di Kalijati dekat Subang jawa Barat. Dengaii demikian perang dunia ll telah mengakibatkan berakhirnya masa penjajahan Belanda di Indonesia, mulailah pendudukan Jepang.

Kedatangan Jepang di Indonesia mendapat sambutan hangat dari rakyat Indonesia. Sebab rakyat merasa terbebas dari kekejaman yang beratus ratus tahun mencekamnya. Lebih lebih Jepang kemudian mempropagandakan kebijaksanaan Pemerintah yang bersaudara. Jepang menyebut dirinya sebagai saudara tua bagi bangsa Indonesia. Dikatakan pula bahwa bangsa Jepang keturunan dewa. Oleh karena itu kedatangannya di Indonesia harus dipandang sebagai pelindung yang akan mendatangkan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya, temasuk Indonesia. Maka wajar kalau banyak rakyat yang simpati karena jepang adalah tumpuan harapan yang dapat menghapus penderitaan dan kesengsaraan.16)

Pada awal kedatangan Jepang inilah wakil-wakil ‘Ulama Indonesia dipanggil ke Jakarta. Kyai Djazuli berangkat untuk mewakili daerah Kediri. Tujuan dikumpulkan Ulama ini adalah untuk membentuk Shumubu (jawatan Agama Pusat) yang diketuai oleh Kyai Haji Hasyim Asy’ari dan Shumuka (jawatan Agama daerah). Dan yang paling penting para ‘Ulama tersebut akan dijadikan alat untuk menyampaikan kampanye tentang kebaikan Jepang si saudara tua sambil membakar semangat rakyat agar mau membantunya.

Tak lama kemudian ternyata Jepang juga melakukan pengisapan terhadap kekayaan Indonesia. Hampir semua kekayaan dan bahan mentah di Indonesia diangkut demi kepentingan negeri Jepang yang menghadapi perang melawan sekutu. Bahkan jepang secara langsung telah memaksa tenaga tenaga Indonesia untuk menghadapi perang tersebut. Dipaksalah para pemuda untuk bergabung dalam barisan barisan semi niiliter yang dinamakan Keibodan dan Heiho. Ketiganya adalah organisasi pemuda yang bertugas membantu Jepang dalam bidang Pertahanan dan Keamanan.

Penindasan dan perampasan kekayaan bangsa Indonesia dilakukan tidak kepalang tanggung, Jepang tidak segan segan menindas penduduk untuk menyerahkan segala hak miliknya seperti padi, beras, ayam sampai kepada anak gadis dan janda muda. Banyak rakyat menjadi stres akibat intimidasi yang keterlaluan ini, banyak juga yang sakit dan kematianpun terjadi di mana mana.17)

Baca lebih lanjut

Dihempas Gelombang Cobaan


Menjelang tahun 1940, di usia sekitar 40 tahun Kyai Djazuli kian tampak kokoh sebagai seorang pemimpin dan prospek (masa depan) perjuangannya nampak cerah. Keluarga yang sudah dikaruniai beberapa orang putra itu tampak harmonis dan bahagia, walaupun untuk tempat tinggal beliau masih menumpang di rumah Pak Iskandar, kakaknya. Keadaan ekonomi keluarga inipun masih tetap melarat.

Tuhan memang maha kuasa. Dia mampu berbuat apa yang tak pernah diduga oleh akal manusia. Kyai Djazuli bersama Bu Nyai telah diuji dengan kemiskinan dan aneka kepahitan hidup, keluarganya itu tak mengeluh atau panik bahkan semakin taqorrub (mendekat) kepada Allah SWT. Sudah saatnya hamba yang sabar seperti itu diberikan kelonggaran ekonomi dan untuk selanjutnya diberikan cobaan lagi dalam bentuk yang berbeda, karena selama hidup seorang insan tak pernah kosong dari cobaan bahkan semakin tinggi kedudukan seseorang semakin tinggi pula cobaan yang datang menimpa ibarat sebatang pohon semakin tinggi menjulang semakin kencang pula angin datang menerpa.

Suatu hari Ibu Naib Utsman (Ibu Kyai Djazuli) menawarkan sepetak kebunnya untuk dibeli oleh Kyai Djazuli, mengingat anaknya yang satu ini tidak punya sejengkal tanah sama sekali, karena warisan ayahnya telah dijual habis ketika ia pergi haji seperti yang telah dikisahkan di depan. Kyai Djazuli merasa heran melihat sikap ibunya, kok menawarkan sepetak kebun kelapa. Apa yang bisa diharap untuk membayar, padahal untuk makan sehari hari saja masih sangat kekurangan. Setelah berunding dengan istrinya ternyata Ibu Nyai mempunyai pandangan yang cukup berani, rupanya beliau selalu punya harapan. Baca lebih lanjut

Syeih Yasin Alfadani


Syeih Yasin Alfadani yang mempunyai nama lengkap Abu alfaidl Alamuddin Muhammad Yaasin ibmu Muhammad `isa alfadani ini merupakan ulama` besar didalam bidang hadist, beliau merupakan salah satu ulama` besar yang berasal dari negara Indonesia tepatnya didaerah padang sumatera barat pada tahun 1346 H/1917 M, walaupun asli kelahiran akan tetapi beliau sama sekali tidak pernah tinggal dinegara tercinta ini dikarenakan semenjak kecil beliau
diajak serta tinggal di Makkah bersama kedua orang tua beliau, dan dikota yang dimuliakan tersebut beliau tumbuh berkembang dibawah asuhan dan pengawasan langsung dari kedua orang tua beliau.

Beliau ini terbilang anak yang sangat patuh kapada kadua orang tua ,sehingga sangat mudah bagi kadua orang tua beliau untuk membentuk jiwa sang anak seperti harapan mereka ,hingga pada akhirnya mereka berkesimpulan kalau sang anak ini sangat pantas kalau labih tekun memperdalam ilmu agama. Baca lebih lanjut

DARI CINTA SAMPAI CITA-CITA TERCAPAI


Masyarakat modern benar‑benar telah mengakui betapa besar peranan wanita dalam pembangunan. Karena itulah Pemerintah Orde Baru perlu mengangkat seorang menteri perawan (Peranan Wanita).

Sumbernya memang dari ajaran Islam. Ingatlah bahwa Nabi Musa a.s. menatap sinar di bukit Tursina tatkala berjalan berdampingan dengan Safurah, istrinya yang tercinta. Begitu juga tatkala ayat lqro’ (ayat pertama) Al qur’an diturunkan, Rosululloh SAW. sangat butuh spirit dan dekapan Siti Khodijah. “Zarnmiltini, zammiltini” (selimuti aku, selimuti aku), sabda beliau sambil menggigil. Sejarah telah membuktikan babwa sukses yang dicapai para Nabi dan tokoh‑tokoh besar tidak lepas dari peranan wanita sang pendamping.

Bagaimana dengan Kyai Djazuli? seorang duda yang tak henti‑heiitinya dihempas gelombang cobaan?, rupanya beliau butuh pendamping sebagai teman berbagi rasa, tersenyum bersama tatkala senang dan teman berunding memecah aneka problema. Di samping itu beliau berfikir bahwa kelanjutan Pondok pesantren perlu disiapkan sejak dini dan salah satu cara yang banyak ditempuh adalah lewat jalur keturunan. Bukankah dari dua kali pernikahannya beliau belum memperoleh keturunan?

Sebagai warga masyarakat yang supel dalam bergaul Kyai Djazuli sering beramah tamah dengan Mantri Setjo Atmodjo, seorang mantri guru (Kepala Depdikbud) yang bertugas di kecamatan Ploso. Pak mantri ini berasal dari Nglorok Pacitan dan kemudian menikah dengan putri Kyai Imam Mahyin dari Durenan Trenggalek (keturunan Mbah Mesir bin Mbah Yahudo) semuanya adalah ‘Ulama-‘ulama terkenal di zamannya. Baca lebih lanjut

Bab III Menjadi Kyai Perintis Al Falah


MENGEMBAN AMANAH MENEBAR ILMU

Dari Karangkates Haji Djazuli Ialu pulang ke Ploso dengan diikuti seorang santrinya bernama Muhammad Qomar, lucunya santri itu tidak lain adalah kakak iparnya sendiri yang tak mau berpisah dengannya. Karena di Ploso ia belum memiliki tempat tinggal, maka ia bersama santri satu satunya itu tinggal di bilik utara masjid kenaiban. Seandainya yang menjabat naib waktu itu bukan Bapak Iskandar, kakak kandungnya sendiri mungkin ia tak boleh menempati bilik itu.
Pertengahan tahun 1924 dari seorang santri dan satu masjid ini Haji Djazuli mulai merintis pesantren. la meneruskan pengajian untuk anak anak desa sekitar Ploso yang sudah dimulainya dengan pulang pergi sejak ia masih berada di Karangkates. Jumlah murid pertama yang ikut mengaji ± 12 orang. Dengan ikhlas ia membimbing murid-muridnya demi menjalankan amanah yang dibebankan kepada orang yang sudah memiliki Ilmu. la merasa wajib menyebarkan ilmunya semata mata karena perintah Allah, bukan karena ambisi ingin menjadi tokoh yang disegani berpengaruh dan dihormati, apalagi untuk mencari keuntungan materi. Dibimbingnya santri yang sedikit itu dengan telaten dan penuh kesabaran lewat sistem sorogan, dibacakannya makna gandul (makna berbahasa jawa dari kitab kuning ala pesantren) kepada murid muridnya, Ialu disuruhnya murid murid itu mengulang makna tadi secara bergantian. Dibetulkannya apabila ada yang salah membaca dengan cara yang baik dan bijaksana, bahkan dengan senang hati ia menuliskannya di kitab murid muridnya apabila sang murid menyodorkan kitab beserta pulpen berikut tintanya. Diterangkannya materi pelajaran dan permasalahan dengan jelas dan tuntas.1)
Semangat yang ditunjukkannya ketika mengajar di hadapan berpuluh puluh orang ketika masih di Mojosari, Mekkah, Tebuireng, Tremas dan Karangkates tidak berbeda dengan menghadapi seorang santri di serambi masjid Dan begitu juga sikapnya ketika mengajar ratusan santri di kemudian hari. Sungguh ia mengajar bukan untuk sanjungan, namun semata mata demi perintah Allah.
Itulah rahasia keberhasilannya dan itulah modal awal satu satunya yang ia miliki. Tak ada modal harta sepersenpun, tak ada sejengkal tanah, yang dimilikinya, bahkan apa yang hendak dimakan besok pagi saja ia tak mengerti.
Di saat saat itu ia selalu ingat pesan Kyai Zainuddin, guru sekaligus mertuanya, “Le ngajiyo! senajan ora duwe santri”.*) Kata kata itulah yang selalu membakar semangatnya dan tak pernah padam selamanya. Bahkan. sampai terbawa bawa ke dalam mimpi, seringkali ia bermimpi didatangi oleh Kyai Zainuddin dan diperintahkan untuk mengajar ngaji.2) Dan di suatu malam ia bermimpi menggendong mayat, Ialu tiba tiba mayat tersebut hidup. Esok paginya ia menceritakan perihal mimpinya itu dan ia melanjutkan : “Jarene arep hasil sejane” (jadi akan berhasil rencananya), sebagaimana layaknya kepercayaan orang orang tua tentang ta’bir mimpi menggendong mayat.
Hari demi hari kian banyak orang yang tahu kalau Mas’udnya Kyai zainuddin alias blawong yang telah melanglang buana memburu ilmu dari ujung timur di Sidoarjo sampai ke ujung barat di Mekkah kini telah pulang menebarkan ilmunya di kampung kelahirannya, maka banyaklah anak anak desa sekitar bahkan dari wilayah yang agak jauh datang ke Ploso mengikuti pengajiannya.
Di penghujung tahun 1924 itu seorang santri Tremas bemama Abdullah Hisyam asal Kemayan (± 3 km selatan Ploso) datang bertamu kepada Haji Djazuli sambil membawa salam dan surat surat dari sahabat lamanya. Kedua orang yang merasa sama sama satu almamater (seperguruan) di Pondok Tremas itu beramah tamah sampai lama. Haji Djazuli bertanya tentang gurunya Hisyam, tentang kitab-kitab yang dikuasainya dan masalah masalah kesulitan yang dihadapinya. Setelah dialog terasa cukup, Ialu Haji Djazuli melanjutkan, “Sudahlah! tidak usah mondok ke sana ke mari, tinggal di sini saja ikut ngaji bersama saya, fainnalhuda hudallah.” “Alhamdulillah”, seru Hisyam dengan suara datar. Hisyam merasa senang sekali karena kepergiannya ke Tremas satu setengah tahun yang Ialu sebenarnya ingin mengikuti pengajian Haji Djazuli di samping Kyai Dimyathi, namun sayang sekali rencananya itu tak dapat terlaksana karena sesampainya di Tremas Haji Djazuli baru saja boyong (pulang ke Karangkates), maka Hisyam benar benar lega mendengar tawaran Haji Djazuli daii mantaplah ia mulai saat itu untuk berguru sambil mengajar membantu gurunya. Konon Hisyam bukanlah orang yang cerdas tapi berkat ketekunan dan kesabaran Haji Djazuli membimbingnya ditanmbah kemauannya yang membaja ia mampu tampil sebagai guru yang berbobot dan merupakan salah seorang pelopor berkembangnya Pondok Ploso di masa masa berikutnya. Bahkan setelah ia pulang ke kampungnya di dusun Kemayan ia menjadi Kyai yang cukup disegani. Baca lebih lanjut

KEMBALI KE PESANTREN


Berangsur angsur kesehatan H. Djazuli pulih kembali setelah mendapatkan perawatan dan istirahat secukupnya, akan tetapi bagi H. Djazuli yang sedari kecil sudah ditempa untuk disiplin dan menghargai waktu, istirahat dirasakannya sebagai beban mental, disamping itu ia merasakan bahwa keadaannya yang menganggur telah menambah pemikiran bagi ibunya yang nampak semakin tua, timbul perasaan tidak enak dihatinya, apalagi telah melihat saudara saudaranya seperti Mas Iskandar, Zarkasi dan Miftah telah bekerja sebagai pegawai negeri dan telah berumah tangga dengan mapan, ia tak layak untuk terus di rumah, walaupun bagi ibunya sendiri tak menganggap apa apa.
Perasaannya ini sangat beralasan karena ia sudah dewasa dan warisan yang menjadi haknya telah dijual habi untuk haji, ia tak ingin menjadi beban bagi orang lain. Maka dengan berbekal semangat berangkatlah ia ke Tebuireng – Jombang setelah pamit dari rtumah dan singgah beberapa lama mohon izin di mojosari kepada Kyai Zainuddin mertuanya.
Ia memilih Tebuireng karena pada tahun 1923 itu, walaupun Organisasi Nu belum berdiri nama Kyai hasyim Asy’ari amatlah masyhur. Murid Kyai Kholil Bangkalan ini dikenal sangat alim ilmu hadits, disamping Pondok Tebuireng mempunyai nama yang harum karena reputasinya yang banyak menelorkan tokoh-tokoh Ulama dan Politisi di negara ini.
Tatkala H. Djazuli telah sampai di Tebuireng dan sowan (menghadap) kepada Kyai Hasyim untuk menyampaikan niatnya akan mempelajari ilmu terutama ilmu hadits, Kyai Hasyim malah menugaskannya untuk membaca (mengajar) Tafsir Jalalain. H. Djazuli tak bisa berbuat pura-pura bodoh di hadapan Kyai Hasyim. Sebab beliau tahu siapa H. Djazuli sebenarya yang tak lain adalah Mas’udnya Kyai Zainuddin Mojosari. Bukankah nama itu sudah dikenal di kalangan Pesantren, khususnya Ulama’ ulama’ yang karib dengan Kyai Zainuddin seperti Kyai Hasyirn.
“Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja disini,” kata Kyai Hasim dengan tegas. Bukan hanya Tafsir yang ditugaskan kepadanya, tapi dipercaya juga untuk rnengajar di Madrasah.
H. Djazuli sebenarnya masih menyadari kebodohannya. Seperti itulah memang sikapnya sampai ia kelak menjadi ‘ulama besar. la selalu merasa bodoh, merasa baru menguasai setetes ilmu dari samudera ilmu yang tak ada batasnya. Itulah sebabnya ia selalu merendah dan masih selalu haus sampai kapanpun. Tugas mengajar yang diembankan kepadanya diterimanya dengan ikhlas semata-mata sebagai ta’dhim dan ia yakin dari tugas itu dapat dipetik banyak pelajaran dan pengalaman. lapun menjalankan tugasnya dengan baik, disiplin dan penuh tanggung jawab. Baca lebih lanjut

DERITA DI TANAH SUCI & KUDETA WAHABI


lbadah haji tengah berlangsung, setiap Jamaah hanyut dalam perasaannya masing masing, rukun demi rukun dari lbadah haji menyimpan nilai spiritual yang amat tinggi dan mendatangkan rasa khusu’ dekat dengan Allah. Sehingga banyak orang menangis menyesali dosa dosanya, disamping menangis haru mendapat kehormatan untuk datang memenuhi panggilannya, mereka bersyukur dan bahagia dapat menyempurnakan rukun Islam. Betapa dekat hubungan seorang hamba dengan Tuhannya di tempat yang mulia itu.
Tidak semua muslim bisa datang ke sana, banyak orang kaya raya meninggalkan dunia fana ini sebelum menunaikan ibadah haji, wajar kalau kita katakan para jamaah haji itu adalah manusia manusia pilihan.
Mungkin Mas’ud termasuk seorang jamaah yang pantas mensyukuri nasibnya melebihi jamaah jamaah yang lain. Betapa tidak, ia datang ke tanah suci bukan karena kekayaannya. la datang tersendat sendat berjuang mengatasi rintangan, sungguh ia bersyukur dan merasa lega bahwa dirinya yang serba kekurangan dapat menyempurnakan rukun Islam.
Di tengah tengah kekhusu’an ibadah haji itulah ia menerima khabar dari tanah air bahwa istrinya telah meninggal dunia “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun”. Bagaikan disambar bledek (petir) berita tersebut menyayat kalbunya, sebagai hamba Allah yang baik hanya bersabar yang dapat ia lakukan.
Kini ia merasa sebatangkara, istri sudah tiada, harta sudah terjual habis, rumah memang tidak punya. “Apa yang hendak diharap lagi di tanah air?” pikirnya dalam hati, maka ia bertekad untuk berimukim di tanah suci Mekkah sampai kapanpun, untuk beribadah sambil menggali ilmu dan mengamalkannya. Karena sampai pertengahan abad 19 Mekkah masih merupakan pusat pengajaran ilmu-ilmu Salafiyah secara mendalam, sebab disana banyak pengajar ‘Ulama ‘ulama bertarap internasional. Hal itu tentu saja sangat menarik bagi Mas’ud seorang pemburu ilmu yang tak kenal puas dan lelah.

Baca lebih lanjut