Pembaharuan Agama

Ketika keintlektualan lebih mengedepankan nafsu serta semangat yang menggebu dengan dalih memurnikan agama tanpa disertai dengan pemahaman agama secara benar maka yang terjadi justru pembaharuan-pembaharuan yang menyimpang dari ajaran yang telah dibawa oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Pada pembahasan ini akan mengetengahkan pembaharu-pembaharu (mujaddid) Islam yang telah melakukan banyak penyimpangan dari ajaran Islam yang murni.

FAHAM IBNU TAIMIYYAH
Di akhir masa 600 H, muncullah seorang laki-laki yang jenius yang telah banyak menguasai berbagai jenis disiplin ilmu, ia adalah Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Hakim yang lebih di kenal dengan Ibnu Taimiyyah. Ia di lahirkan di desa Heran, sebuah desa di Palestina dari suku kurdi pada tahun 661 H. Ia sezaman dengan Imam Nawawi (seorang ulama fiqih terbesar dalam madzhab syafi’i).
Dalam perjalanan hidupnya (story life) ia tidak pernah menemukan seorang guru yang bisa menunjukan kejalan yang benar, sehingga iapun terjerumus kedalam madzhab hasyawiyyah.

Ia merupakan sosok pribadi yang memiliki karakter pemberani, yang selalu mencurahkan segala sesuatu untuk madzhabnya dengan keberanian yang ia miliki, ia telah menemuakan hal baru yang sangat tabu dan jauh dari kebenaran, karma yang menjadi dasar pendiriannya adalah dengan mengartikan ayat-ayat suci Al Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan menurut arti lafadznya yang dzahir yakni hanya secara harfiyyah saja. Oleh sebab itu menurut Ibnu Taimiyyah Tuhan itu memiliki muka, tangan, rusuk, mata, duduk bersila, dating dan pergi, Tuhan adalah cahaya langit dan bumi karma menurutnya semua itu disebutkan di dalam Al Qur’an(25)). Disamping itu ia juga berani melontarkan argument-argumen yang controversial, di antaranya:
– Zat Allah bersifat dengan sifat-sifat yang baru
– Allah senantiasa melakukan aktivitas dan hasil karyanya (ciptaan) merupakan sesuatu yang qadim
– Tasalsul (keadaan berantai pada makhluk sehingga tidak ada berujung dan berkesudahan) tidaklah mustahil terjadi, baik pada zaman yang sudah lampau maupun yang akan datang
Dampak dari argumentasi yang telah ia keluarkan berakibat sangat fatal, ia telah memutuskan tongkat (perjuangan agama; Jama’ah Islam), meracuni sendi-sendi aqidah kaum muslimin, dan menanam bibit (permusuhan) di antara mereka sehingga kesatuan umat Islam menjadi terpecah belah, aqidahnya (keyakinan) menjadi rusak, dan terlebih lagi kian tertanam benih-benih permusuhan di antara umat Islam.

Kontroversi yang ia ucapkan tidak hanya terbatas pada permasalahan ilmu kalam (tauhid), melainkan juga menyinggung beberapa permasalahan ilmu fiqih seperti fatwa-fatwanya berikut ini :
–  Bepergian dengan tujuan ziarah kepada Nabi Muhammad setelah beliau wafat di hukumi maksiat
–  Talak tiga tidak terjadi ketika di ucapkan dengan sekaligus (hanya satu)
– Seorang yang bersumpah akan mencerai istrinya, lalu ia melanggar sumpahnya, maka perceraiannya itu tidak terjadi

Kekhawatiran para ulama pada masa itu terhadap pengaruh Ibnu Taimiyyah membuahkan suatu kesepakatan untuk mengusulkan kepada Sultan Raja Muhammad ibnu Qowalun(26) agar ia di penjarakan dalam waktu yang lama, rajapun akhirnya menyetujui akan hal itu (peristiwa itu terjadi tahun 722 H), selain ia dimasukkan ke penjara, ia juga dilarang keras untuk membuat karya tulis bahkan membawa peralatan tulis menulis selama di penjara.

Pada malam Senin 20 Rajab 728 H ia meninggal dalam penjara. Setelah ia meninggal, salah satu sahabatnya membuat suatu pembaharuan dengan menyebarluaskan faham-faham serta pokok-pokok ajaran yang telah diciptakan oleh Ibnu Taimiyyah kepada masyarakat umum, sehingga menyebabkan terdegradasinya aqiadah mereka.

Hal itu terbukti dengan kesaksian Imam Taqiyuddin Assubki yang telah melihat dengan jelas akan sebuah qashidah yang berjumlah sekitar 6000 bait yang dikarang oleh Ibnu Zafil seorang yang menganut faham madzhab Hambali, dalam qashidahnya ia mengupas berbagai macam hal, baik yang berkenan dengan fahamnya maupun yang lain.

Ibnu Zafil menentang faham yang dikembangkan oleh Imam Asy’ari dan imam-imam ahli sunnah yang lain dan menganggap semuanya termasuk golongan jahmiyyah yang termasuk penganut faham jabariyyah murni, bahkan ia mengkafirkan semua golongan yang tidak sefaham dengannya, karena ia meyakini hanya fahamnya saja yang sejalur dengan Al Hadits.

Syaikh Assubki menuturkan bahwa karangan Ibnu Zafil yang berbentuk qashidah secara garis besar hanya mencakup pada tiga poin :
1. Ilmu kalam, dalam hal ini para ulama melarang untuk mengkajinya apabila ada kebenarannya
2. Menetapkan aqidah bathil
3. Memprovokasi masyarakat awam agar mengkafirkan pada siapapun yang tidak sefaham dengannya
Ketiga hal ini mengundang reaksi para ulama saat itu, sehingga sebagian dari mereka ada yang memberikan tanggapan sebagai berikut :
Yang per tama : dari tiga materi itu adalah haram hukumnya, karena larangan dari ilmu kalam kalau bentuknya saja sudah larangan tanzih tentang masalah yang kebutuhan menuntut kita membantah ahli bid’ah di dalamnya maka tentu larangan itu menjadi larangan tahrim tentang masalah yang kebutuhan tidak menuntut kita pada hal tersebut. Maka bagaimana tidak kalaulah tentang masalah yang merupakan hal yang bathil ?!

Yang kedua : para ulama berbeda pendapat di dalam mengkafirkannya dan isi qosihidah itu memang belum sampai pada tingkat ini. Adapan kalau dilakukan dengan sangat berlebihan maka di dalam status ikhtilaf-nya ini harus dipertimbangkan lagi.

Adapun Yang ketiga : maka kita tahu dengan pasti bahwa ketiga golongan itu – Syafiyyah, Malikiyyah, dan hanafiyyah – serta orang-orang sejalur aqidahnya dengan mereka itu adalah orang-orang muslim dan bukan orang-orang kafir. Dengan demikian maka pendapat yang menyatakan bahwa semuanya kafir dan menjerumuskan masyarakat kedalam pendapat itu adalah bagaimana tidak menjadi kufur ?! Sementara Rasulullah sollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :

إِذَا قَالَ الْمُسْلِمُ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَـدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
Artinya: jika berkata seorang muslim kepada saudaranya ” wahai kafir !” maka berarti salah seorangnya berbalik menjadi kafir.”

Kenyataannya mengharuskan bahwa sebagian yang dia kafirkan itu adalah muslim. Sementara hadits menetapkan bahwa halnya ada salah seorang yang kembali menjadi kafir. Berarti Yang mengucapkanlah dia yang telah kembali menjadi kafir.” Demikianlah sudah apa yang Imam Taqiyuddin Assubki katakan dengan panjang lebar, yang telah dikutip oleh Sayyid Murtadlo Zabidi (pengarang syarah kitab Ihya Ulumuddin ).

Kembali pada seputar madzhab Ahmad Ibnu Taimiyyah, cara yang ia tempuh untuk mengenalkan fahamnya kesegenap lapisan masyarakat yaitu dengan mengatakan bahwa ia akan memperbaharui pengajian-pengajian dari para ulama terdahulu dan akan mengembalikan mereka pada Al Qur’an dan Al Hadits serta menentang madzhab empat, karena menurutnya ke empat imam madzhab tidak berpegang pada Al Qur’an dan Al Hadits. Disamping itu ia menebarkan propaganda akan memerangi khurafat dan bid’ah yang telah dilakukan oleh para ulama dan kaum muslimin terdahulu seolah-olah ia mengatakan bahwa ia sendirilah yang berpegang pada Al Qur’an dan Al Hadits, padahal realitanya dia sendirilah yang ahli bid’ah yang terbesar karena telah menyerupakan Allah SWT dengan makhluq(27).

Nasehat adz-Dzahabi Terhadap Ibn Taimiyah; Bukti Pengakuan Seorang Murid Bagi Kesesatan Sang Guru
Al-Hâfizh adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, –terutama dalam masalah akidah–, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah pengikut madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan faham-faham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Untuk ini kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.
Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi Ibn Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn(28).

“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.

Adapun nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn(29).
“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam diriku.

Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!

Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!

Oh… Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!

Oh… Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!

Oh… Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan. Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.

Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!

Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.

Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)

Hai Bung…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara (yang ekstrim). Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)

Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan (kelompok yang sesat, seperti) kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.

Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka dengan logika kita??

Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.

Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.

Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!

Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!
Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!

Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?! Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!

Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.

Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.

Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.

Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.

Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya sekalian.

Tinggalkan komentar