Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Agama

Oleh: Muh. Halimi

PENDAHULUAN
Menurut mayoritas pemikir politik islam, seperti al-Mawardi dalam kitabnya, “al-Ahkâm al-Shulthâniyyah”, menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian social dalam suatu Negara atau daerah adalah wajib hukumnya, baik menurut akal maupun syara’. Menurut akal, tidak mungkin ada suatu Negara atau daerah tanpa pemerintahan yang dipimpin oleh kepala Negara atau daerah. Sebab, jika demikian, maka masyarakat akan hidup tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya kedhaliman dan tidak ada yang akan menyelesaikan perselisihan dan persengketaan (tanâzu’ wa takhâshum). Sedangkan menurut syara’, kepala Negara atau daerah diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan, juga masalah keagamaan. Sedangkan untuk membentuk atau melestarikan pemerintahan yang sah, membutuhkan proses pemilihan dan suksesi.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam proses penggantian kepemimpinan. Pada zaman primitive, proses perebutan kekuasaan ditempuh dengan cara perang fisik dan adu otot. Sehingga, untuk merebut kekuasaan, haruslah jago berperang dan pandai bertempur. Namun pada era modern, masyarakat lebih memilih metode pemilihan umum sebagai alternative yang paling rasional dan aman dalam perebutan kekuasaan.

Pada prinsipnya, pemilu adalah cermin dari kedaulatan rakyat, untuk memilih orang terpercaya untuk menjadi pemimpinnya. Pemilu merupakan suatu keharusan, demi berlangsungnya pemerintahan untuk mengatur urusan rakyat. Dalam Negara yang demokratis, masih meyakini bahwa pemilu adalah pesta rakyat yang paling aman dan lebih menjamin keadilan untuk proses suksesi kepemimpinan dalam suatu Negara atau daerah. Negara atau daerah adalah instrument kemasyarakatan, sedangkan pemilu adalah instrument kenegaraan, dimana tanpa pemilu, suatu Negara atau daerah akan mengalami stagnan. Oleh karenanya, pemilu menjadi suatu keniscayaan. Pemikiran semacam ini, sejalan dengan kaidah fiqhiyyah;

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ، فَهُوَ وَاجِبٌ

“Sesuatu yang menjadi instrument yang wajib, dimana kewajiban tersebut tidak dapat dilakukan tanpanya, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya”

Organisasi yang disebut Negara, di Negara modern ini masih diyakini sebagai suatu keharusan (baca:wajib), sedangkan pemilu adalah instrumennya. Maka, pemilu menjadi suatu keharusan pula (baca:wajib).

Dalam pemilu, yang memiliki hak suara adalah rakyat. Rakyat berhak untuk menentukan pilihan kepada salah satu calon pemimpin, sesuai dengan “getaran” nuraninya. Bahkan, rakyat juga berhak untuk tidak menyalurkan aspirasinya (golput) kepada siapapun. Sebab, golput juga merupakan suatu pilihan. Pilihan untuk golput, bisa jadi Karena factor proses pemilu yang tidak dapat dipercaya, atau karena sudah tidak lagi mempercayai produknya yang akan mewakili dan memimpinnya Akan tetapi, siapapun tidak berhak untuk memaksa rakyat untuk menyalurkan aspirasinya kepada calon tertentu. Sebab, secara secara undang-undang dan etika politik, tak seorangpun berwenang untuk memaksanya.

Pemilu, akan menjadi “hajat orang banyak” jika dapat mencerminkan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, memberikan suara kepada salah satu calon pemimpin bukanlah sebuah kewajiban secara personal (fardl ‘ain) menurut islam, namun sebatas kewajiban secara komunal (fardl kifâyah). Akan tetapi, disaat ini, ketika kita telah larut dalam permainan politik dan kurang memihak terhadap kepentingan rakyat, sementara diyakini ada salah satu calon pemimpin yang dipercaya dapat menjadi pemimpin dan membawa perubahan ke arah “pro rakyat”, maka partisipasi politik dan memberikan suara pada saat pemungutan suara menjadi sebuah kewajiban secara personal (fardl ‘ain).

HAK WANITA DALAM MENDUDUKI KEKUASAAN

Rasulullah saw, ketika mendengar kaum Persi dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra raja Kisra yang bernama Bûran, beliau berkata,

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita.”

Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ni, menurut al-Qâdli Abû bakr ibn al-‘Arabiy merupakan konsensus para ulama.

Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.

Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.

Ibn Jarîr al-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;

“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.

Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).

Tinggalkan komentar